Hewan sembelihan aqiqah boleh dengan kambing ( baik jantan maupun betina ),
domba, sapi , atau unta. Tidak sah aqiqah jika dilakukan dengan hewan selain di
atas, seperti ayam, kelinci, atau burung sebagaimana pendapat para ahlul hadits,
dan fuqaha.
· Hewan aqiqah harus dalam keadaan sehat, tidak boleh ada cacat dan dalam
keadaan sakit.
· Hewan aqiqah harus merupakan hewan yang sudah layak disembelih seperti
mana halnya kurban. Jika kambing, maka minimal sudah berusia satu tahun
Distribusi daging aqiqah
Setelah disembelihnya hewan aqiqah, maka para ulama menganjurkan
untuk membaginya menjadi tiga bagian. Sepertiga pertama untuk ahlul
bait, sepertiga kedua untuk diberikan kepada orang lain sebgai hadiah,
dan sepertiga terakhir untuk dijadikan sebagai sedekah.
Dianjurkan pula bahwa pemberian untuk sedekah dan hadiah,
lebih utama jika dilakukan setelah daging tadi dimasak oleh ahlulbait,
tidak dibagikan dalam keadaan masih mentah. Hal ini mengingat tidak
semua fakir miskin dalam keadaan mampu untuk memasak daging yang
diberikannya, dan kalaupun sanggup akan menambah beban mereka. Maka yang
paling utama adalah meringankan beban mereka dan memberikan kebahagiaan
dan kesenangan bagi mereka.
Antara AQIQAH dan KURBAN
Jika pelaksanaan aqiqah bertepatan dengan bulan – bulan haji, apakah bisa digabungkan antara hewan kurban dengan aqiqah, dengan melaksanakan salah satunya saja. Ataukah antara aqiqah dan kurban itu sendiri merupakan hal yang sama..?
Untuk permasalahan ini, para ulama kembali terbagi menjadi dua bagian ;
Pertama :
Bahwa hewan kurban jika digabungkan dengan aqiqah, karena
bertepatan dengan bulan haji, maka tidak menjadi masalah bagi ulama
hambali, dan Muhammad bin Sirin serta Hasan Bashri.
Diceritakan dalam satu riwayat bahwa ayah dari imam Ahmad,
yaitu Hambal pernah membeli hewan kurban dan menyembelihnya di bulan
haji dengan niat kurban sekaigus aqiqah. Dengan alasan inilah ulama di
atas memeprbolehkan kurban dan aqiqah dilaksanakan pada satu waktu dan
satu niat, yaitu ketika iedul adha.
Kedua :
Yaitu pendapat ulama Maliki, yang berpendapat bahwa kurban dan
aqiqah adalah hal yang berbeda. Dalam segi syariat keduanya sudah
berbeda, sebab disyariatkan keduanya juga berbeda. Maka kurban dan
aqiqah tidak bisa digabungkan satu sama yang lainnya.
SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB DALAM AQIQAH
Pertama :
Kalangan Hambali dan Maliki, berpendapat bahwa yang bertanggungjawab
atas syariat aqiqah sesuai dengan khitab hadits yang telah disebutkan
diatas, yaitu orang tua laki – laki, sang ayah. Dikuatkan kembali oleh
pendapat imam Ahmad ketika ditanya mengenai seseorang yang belum
diaqiqahkan oleh ayahnya bagaimana hukumnya, beliau menjawab : kewajiban
itu atas ayahnya.
Kedua :
Jika si anak memiliki harta dan mampu melakukannya sendiri, maka dia
yang bertanggung jawab atas diriny sendiri. Akan tetapi jika tidak mampu
dan masih memiliki ayah, maka ayahnya yang tanggungjawab. Sementara
jika ia tidak mampu dan tidak lagi memiliki ayah, maka kewajibannya bagi
sang ibu. Sebagaimana pendapat Ibnu Hazm adhzahiri.
Ketiga :
Yang berhak mengaqiqahkan anak, adalah mereka yang
bertanggungjawab dalam memberi nafkah atas kehidupan sehari – harinya (
wali ). Tidak mesti orang tua. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah
saw, yang mengaqiqahkan cucu beliau Hasan dan Husein. Karena menurut
beberapa pendapat bahwa Ali kala itu sedang dalam keadaan terhimpit. Ada
yang mengatakan bahwa Ali sebelumhya memberikan hewan aqiqah kepada
Rasul untuk kedua puteranya. Yang jelas, ini merupakan pendapat Imam
Syafi’i, bahwa kewajiban aqiqah atas anak, kembali kepada orang yang
memelihara dan memberi nafkah padanya.
Keempat :
Yang bertanggungj awab atas aqiqah seorang anak, bukan orang
sana ayah, bukan ibu dan bukan orang yang member nafkah hidupnya.
Melainkan tidak ada orang yang tertentu yang diberikan kewajiban khusus
untuk melaksanakan aqiqah. Sebagaimana di hadits – hadits yang telah
disebutkan tidak ada “ qayid “ yang jelas bahwa kewajibannya khusus sang
ayah, ibu, ataupun wali. Oleh karena itu sah – sah saja jika yang
malaksanakannya orang lain selain mereka, seperti paman, sanak saudara
atau bahkan orang asing sekalipun. Ini pendapat imam Ibnu Hajar dan
Syaukani.
Dari berbagai macam pendapat diatas, kita dapat menarik
kesimpulan tidak ada pendapat yang sepakat ditentukan oleh ulama
mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam hal mengaqiqahkan sang anak.
Maka menurut penusli, yang berhak pertama kali adalah sang ayah,
kemudian wali atau orang yang mengasuhnya, kemudian jika ada dari sanak
saudaranya yang ingin mengaqiqahkannya maka itu juga diperbolehkan.
Wallahu a’lam
Belum pernah diaqiqah, padahal sudah baligh
Bagaimana
hukumnya seseorang yang sudah besar tapi belum pernah diaqiqahkan oleh
orang tuanya. Apakah dia masih harus aqiqah walau orang tuanya sudah
meninggal.? Lalu bolehkan melaksanaan aqiqah sendiri..?
Dalam permasalahan ini, ulama terbagi kepada dua pendapat :
Pertama :
Disunahkan bagi mereka yang belum sempat diaqiqahkan oleh
orang tuanya, untuk melaksanakan aqiqah sendiri. Sebagaimana pendapat
Atho’ , Hasan, Muhammad bin Sirin, dan sebagian kalangan Syafi’i. Mereka
menjadikan haditsyang menjelaskan bahwa nabi saw pernah melakukan
aqiqah untuk dirinya sendiri setelah pelantikan nubuwwah. Akan tetapi
terdapat pertentangan yang sangat panjang dari hadits yang dijadikan
landasan mereka. Pada intinya hadits itu tidak ada nash yang menunjukkan
kesahihannya. Baihaqi mengatakan hadits itu munkar, Nawawi melihat
bahwa hadits ini bathil, karena terdapat Abdullah bin Muharrar yang
disepakati kedhoifannya.
Kedua :
Tidak diwajibkan pada seorang anak yang belum sempat
diaqiqahkan oleh orang tuanya untuk melakukan aqiqah sendiri. Karena
aqiqah pada asalnya disyariatkan kepada orang tua atau wali yang
memeliharanya. Maka tidak ada perintah untuk melakukannya sendiri.
Pendapat ini yang dijadikan landasan kalangan Syafi’i dan Ahmad bin
Hambal.
Setelah jelas dua pendapat diatas, dan lemahnya dalil yang dijadikan
landasan pendapat pertama. Terdapat beberapa keterangan dari para ulama
terdahulu yang menjelaskan bahwa mereka melakukan aqiqah secara sendiri.
Seperti keterangan yang didapatkan dari Imam Hasan al Bashri : “ jika
belum sempat diaqiqahkan, maka lakukanlah aqiqah sendiri bagi anak laki –
laki “. Sepertimana ungkapan Muhammad bin Sirin : “ aku melakukan
aqiqahqu sendiri dengan seekor kambing “.
Dari keterangan berikut dapat disimpulkan bahwa
ulama tidak melarang untuk melakukannya secara sendiri. Maka bagi yang
belum sempat diaqiqahkan oleh kedua orangtuanya, tidak mengapa jika
ingin melakukannya sendiri. Sebagaimana tidak ada larangan untuk tidak
melaksanakannya.
Alhamdulillah, semoga dapat berguna dan menambah wawasan kita. Tulisan
ini secara khusus dibuat atas pertanyaan dan permintaan jamaah. Mudah –
mudahan jamaah tidak puas dan dapat melengkapi wawasannya dari sumber
lain.